Mencari Ketenangan Hati dengan Dzikrullah
Ketenangan itu dicapai melalui zikrullah. Tetapi zikrullah yang bagaimanakah dapat memberi efek dan dampak sampai kepada hati kita? Banyak juga orangyang berzikir tetapi tetap tidak menemukan ketenangan di dalam hatinya.
Ada orang berkata, “ketika saya dihimpit hutang, jatuh sakit, dikucilkandan difitnah, saya pun berzikir. Saya ucapkan subhanallah, alhamdulillah, Allah hu Akbar beratus-ratus malah beribu-ribu kali tetapi tetap hati saya tidak tenang juga”
Zikrullah hakikatnya bukan sekadar menyebut atau menuturkan kalimah memuji ke Agungan Tuhan. Ada bedanya antara berzikir dengan “membaca” kalimah zikir. Zikir terkesan melibatkan tiga dimensi – dimensi lidah (qauli), hati (qalbi) dan perlakuan (fikli).
Mari kita gali lebih dalam lagi bagaimana ketiga-tiga dimensi zikir ini diaplikasikan. Katakanlah lidah kita mengucapkan subhanallah – artinya Maha Suci Allah. Itulah yang disebut Dzikir Qauli.
Namun, pada masa yang sama hati hendaklah merasakan Allah itu Maha Suci pada Dzat, Sifat dan Af’al (perbuatannya). Segala ilmu yang kita miliki tentang kesucian Allah hendaklah dirasai bukan hanya diketahui. Allah itu misalnya, suci daripada sifat-sifat kotor seperti dendam, khianat, prasangka dan sebagainya.
Dimensi Kata, Rasa Dan Tindakan
Jika seorang hamba yang berdosa bertaubat kepada-Nya, Allah SWT tidak hanya mengampuninya dan Allah SWT akan menghapus catatan dosa itu, bahkan menyayangi dan memberi Rahmat dan Hidayah kepadanya.
Allah SWT telah berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahan kamu dan memasukkan kamu ke dalam syurga-syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai…” (Surah At Tahrim: 8)
Firman Allah SWT yang lain berkaitan dengan itu :
“… Sungguh, Allah menyukai orang yang taubat dan menyukai orang yang menyucikan diri.” (Surah Al-Baqarah: 222)
Sifat ini berbeda sekali dengan kita manusia yang kekadang begitu sulit untuk memaafkan kesalahan orang lain. Dan bahkan sedikit sekali orang yang mampu memaafkan tetapi begitu sukar melupakan kesalahan yang membuat hati kita terluka. Hendaknya kita harus ikhlas memberi sesuatu kepada orang yang bersalah mencaci, memfitnah dan menghina kita.
Ah, jauh panggang daripada api! Begitulah kotornya hati kita yang senantiasa diselubungi dendam, prasangka dan sukar memaafkan. Tidak seperti Allah yang begitu suci, lunak dan pemaaf. Jadi, apabila kita bertasbih, rasa-rasa inilah yang harus diresapkan ke dalam hati kita. Inilah yang disebut Dzikir Qalbi.
Tidak cukup di tahap itu saja, dzikrullah juga perlu dipertingkatkan lagi ke dimensi ketiga. Hendaklah orang yang bertasbih itu memastikan perlakuannya benar-benar menyucikan Allah SWT, artinya, dia melakukan perkara yang selaras dengan seruan di jalan Allah yang Maha Suci dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Yang halal, wajib, harus dan sunnah dilakukan dan manakala yang haram dan makruh harus ditinggalkannya. Zina, mengumpat, mencuri, memfitnah dan lain-lain dosa yang keji dan kotor dijauhi. Bila ini dapat kita lakukan maka kita tiba memasuki dimensi ketiga zikrullah yaitu Dzikir Fikli.
Sekiranya ketiga-tiga dimensi zikrullah itu dapat dilakukan, maka terasa sangat mendalam kepada hati. Setidaknya hati akan dapat merasakan empat perkara:
Rasa kehambaan. Rasa bertuhan. Memahami Takdir, dan Mendapat hikmah dibalik ujian.
Hati adalah sumber dari segala-galanya dalam hidup kita, agar kehidupan kita baik dan benar, maka kita perlu menjaga kebersihan hati kita. Jangan sampai hati kita kotori dengan hal-hal yang dapat merusak kehidupan kita apalagi sampai merusak kebahagiaan hidup kita di dunia dan di akhirat nanti.
Untuk menjaga kebersihan hati maka kita juga perlu untuk menjaga penglihatan, pendengaran, fikiran, ucapan kita dari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Dengan menjaga hal-hal tersebut kita dapat menjaga kebersihan hati kita. Dengan hati yang bersih kita gapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
1. Rasa Kehambaan
Rasa kehambaan ialah rasa yang perlu ada di dalam hati seorang hamba terhadap Tuhan-Nya. Antara rasa itu ialah rasa miskin, jahil, lemah, bersalah, hina dan lain-lain lagi. Bila diuji dengan kesakitan, kemiskinan, cercaan misalnya, seorang yang memiliki rasa kehambaan semata-mata itu datangnya dari Tuhannya.
Allah SWT berfirman :
“Katakanlah (Muhammad), tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakal orang-orang yang beriman.” (Surah At Taubah: 51)
Seorang hamba akan pasrah dan merasakan bahwa dia sedang diuji. Bukankah dia seorang hamba? Dia ikhlas dengan apa yang sedand terjadi pada dirinya dan tidak mempersoalkan mengapa aku yang diuji? Kenapa aku, bukan orang lain? Ini sama juga dengan mempersoalkan Allah yang mendatangkan ujian itu. Menerima hakikat bahwa kita layak diuji akan menyebabkan hati menjadi tenang. Jika kita “memberontak” hati akan bertambah kacau. (Galau Broo)
Imam Ghazali pernah mengatakan bahwa cukuplah seseorang hamba dikatakan sudah “memberontak” kepada Tuhannya apabila dia menukar kebiasaan-kebiasaan dalam hidupnya apabila diuji Allah SWT dengan sesuatu yang tidak disukainya.
Misalnya, dia tidak mau makan-minum secara teratur, tidak mandi, tidak menyisir rambut, tidak berpakaian rapi, tidak memotong kuku dan jenggot dan lain-lain yang menjadi kebiasan rutin hidupnya.
Ungkapan mandi tak basah, tidur tak lelap, makan tak kenyang adalah satu “demonstrasi” seseorang yang sudah tercabut rasa kehambaannya apabila ia diuji.
Bila ditimpa ujian kita dianjurkan untuk mengucapkan kalimah istirja’ – “innalillah wa inna ilaihi rajiun”.
Allah SWT telah berfirman :
“…Iaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-nyalah kami kembali.” (Surah Al-Baqarah: 156)
Mengapa kita diperintahkan mengucapkan istirja’?
Kalimah ini sebenarnya mengingatkan kita agar kembali merasakan rasa kehambaan. Bahwa kita adalah hamba milik Allah dan kepada-Nya kita akan dikembalikan. Kita layak dan patut mendapatkan diuji karena kita hanyala seorang hamba dalam hidup ini.
2.Rasa Bertuhan
Rasa kehambaan yang serba lemah, miskin, kurang dan jahil itu mesti diimbangi oleh rasa bertuhan. Bila kita rasa lemah timbul rasa pergantungan kepada yang Maha kuat. Bila kita rasa kurang timbul pengharapan kepada yang Maha sempurna. Bila miskin, timbul rasa hendak meminta kepada yang Maha kaya. Rasa pengharapan, pengaduan dan permintaan hasil menghayati sifat-sifat Allah yang Maha sempurna itulah yang dikatakan rasa bertuhan.
Jika rasa kehambaan menyebabkan kita takut, hina, lemah sebaliknya rasa bertuhan akan menimbulkan rasa berani, mulia dan kuat. Seorang hamba yang merasa paling kuat di kalangan manusia ialah dia yang merasa lemah di sisi Allah.
Ketika itu ujian datang walau terasa berat sekalipun akan mampu dihadapi kerana merasakan Allah SWT akan membantunya. Inilah rasa yang dialami oleh Rasulullah SAW yang menenteramkan kebimbangan Sayidina Abu Bakar ketika bersembunyi di gua Thaur dengan katanya, “la tahzan innallaha maana” (jangan takut, sesungguhnya Allah bersama kita)
Rasa bertuhan inilah yang menyebabkan para nabi dan Rasul, mujaddid dan mujtahid, para mujahid dan murabbi sanggup berada di barisan depan terhadap masyarakat yang menentang mereka maupun kezaliman pemerintah yang mempunyai kuasa terhadap Kaum Muslim.
Tidak ada istilah kecewa dan putus asa dalam kamus hidup mereka. Doa adalah senjata mereka dan manakal sholat serta sabar menjadi wasilah untuk mendapat pertolongan Allah.
Allah Berfirman :
“Dan mohonlah pertolongan dengan sabar dan solat.” (Surah Al-Baqarah)
Dalam keadaan apapun, positif maupun negatif, miskin ataupun kaya, penjabat ataupun rakyat biasa, tidak dikenali ataupun populer, hati mereka tetap tenang.
Allah SWT telah berfirman :
“Dialah Tuhan yang menurunkan ketenangan ke dalam hati orang yang beriman, supaya keimanan mereka makin bertambah daripada keimanan yang telah ada. Kepunyaan Allah tentang langit dan bumi, dan Allah itu Maha Tahu dan Bijaksana.” (Surah Al-Fath: 4)
Bila hati tenang maka berlakulah keadaan yang sudah dijelaskan oleh Rasulullah SAW melalui sabdanya :
“Amat bahagia orang – orang beriman, semua pekerjaannya baik belaka, dan itu ada hanya pada orang beriman: Jika memperoleh kesenangan, dia bersyukur. Dan itu memberikannya kebaikan (pahala). Jika ditimpa bahaya (kesusahan), dia sabar dan itu juga memberikannya kebaikan.” – Al Hadist
3. Memahami Takdir Allah
Mana mungkin kita mengelak dari ujian kerana itu adalah takdir Allah SWT. Yang mampu kita buat hanyalah meningkatkan tahap kebergantungan kita kepada Allah di samping berusaha untuk menyelesaikan masalah itu. Ungkapan yang terkenal: We can’t direct the wind but we can adjust our sail – kita tidak mampu mengarahkan tiupan angin, kita hanya mampu mengemudikan pelayaran kita.
Kemudi dalam pelayaran kehidupan kita adalah hati. Hati yang bersifat bolak-balik (terutamanya bila diuji) hanya akan tenang bila kita beriman kepada Allah – yakin kepada kasih-sayang, keampunan dan sifat pemurah-Nya. Takdir yang ditimpakan-Nya pada kita bermaksud baik sekalipun kelihatan negatif. Baik dan buruknya itu hanya pada pandangan kita yang terbatas, namun tidak pada pandangan-Nya Yang Maha Luas, semua yang ditakdirkan pada semua hamba-Nya memiliki suatu Hikmah yang baik.
Tidak salah untuk kita menyelesaikan masalah yang menimpa (bahkan kita dituntut untuk berbuat demikian), namun jika masalah itu tidak juga dapat diselesaikan, bersangka baik kepada Allah berdasarkan firman-Nya:
“Ada perkara yang kamu tidak suka tetapi ia baik bagi kamu dan ada perkara yang kamu suka tetapi ia buruk bagi kamu, Dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan kamu tidak mengetahuinya.” (Surah Al-Baqarah : 216)
Seorang ahli hikmah, Ibnu Atoillah menjelaskan hakikat ini menerusi katanya, “barang siapa yang menyangka sifat kasih sayang Allah terpisah dalam takdir-Nya, maka itu adalah kerana pendeknya penglihatan akal dan mata hati seseorang.”
Siapa tidak inginkan kekayaan, malah kita dituntut mencari harta. Namun jika setelah berusaha tetapi masih tetap miskin juga, bersangka baiklah dengan Tuhan, mungkin itu caranya untuk kita mendapat pahala sabar. Begitu juga kalau kita ditakdirkan tidak berilmu, maka berusahalah untuk belajar, kerana itulah maksud Allah mentakdirkan begitu.
Kalau kita berkuasa, Allah inginkan kita melaksanakan keadilan. Sebaliknya, kalau kita diperintah (oleh pemimpin yang baik), itulah jalan untuk kita memberi ketaatan. Rupa cantik kita gunakan ke arah kebaikan. Jelek? kita terselamat daripada fitnah dan godaan. Ya, apapun takdir Allah, hati kita dipimpin untuk memahami apa maksud Allah dibalik takdir itu.
Jadi, kita tidak akan merengut, stress dan tertekan dengan ujian hidup. Hayatilah kata-apa yang ditulis oleh Ibnu Atoillah ini: “Untuk meringankan kepedihan bala yang menimpa, supaya tahubahwa Allah-lah yang menurunkan bala itu. Dan yakinlah bahwa keputusan (takdir) Allah itu akan memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya.”
Tadbirlah hidup kita dengan sebaik-baiknya, namun ingatlah takdir Tuhan sentiasa mengatasi tadbir insan. Jangan coba mengambil alih “kerja Tuhan” yakni mencoba keberuntungan dalam kehidupan ini tetapi perbuatlah, yakni mengawal pelayaran hidup kita dengan meningkatkan iman dari masa ke masa. Kata bijak pandai: “It’s not what happens to you, but it’s what you do about it. It is not how low you fall but how high you bounce back!“
4. Mendapat Hikmah Bila Diuji
Hikmah adalah sesuatu yang tersirat dibalik yang tersurat. Hikmah dikaruniakan sebagai hadiah paling besar dengan satu ujian. Hikmah hanya dapat ditempa oleh “mehnah” – didikan langsung dari Allah melalui ujian-ujian-Nya.
Rasulullah s.a.w. bersabda ; “perumpamaan orang yang beriman apabila ditimpa ujian, bagai besi yang dimasukkan ke dalam api, lalu hilanglah karatnya dan tinggallah yang baik saja”
Jika tidak diuji, bagaimana hamba yang taat itu hendak mendapat pahala sabar, syukur, reda, pemaaf, qanaah dari Allah? Maka dengan ujian bentuk inilah ada dikalangan para Rasul ditingkatkan kepada derajat Ulul Azmi – yakni mereka yang paling gigih, sabar dan berani menanggung ujian.
Ringkasnya, hikmah adalah karunia termahal dibalik ujian untuk golongan para nabi, siddiqin, syuhada dan solihin ialah mereka yang sentiasa diuji.
Allah SWT telah berfirman: “Apakah kamu mengirakamu akan masuk ke dalam surga sedangkan kepada kamu belum datang penderitaan sebagaimana yang dialami orang-orang terdahulu sebelum kamu, iaitu mereka ditimpa kesengsaraan, kemelaratan dan kegoncangan, sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya merintih: “adakah pertolongan yang datangnya selain dari Allah?” (Surah Al-Baqarah: 214)
Singkat kata, bagi orang beriman, ujian bukanlah sesuatu yang negatif kerana Allah SWT mempunyai maksud-maksud yang baik di balik ujian-Nya. Bahkan dalam keadaan berdosa sekalipun ujian didatangkan-Nya sebagai satu pengampunan. Meski dalam keadaan beriman sekalipun, ujian didatangkan-Nya untuk meningkatkan derajat hamba-Nya.
Justru, telah sering para muqarrabin (orang yang cinta Illahi) tentang hikmah ujian dengan berkata: “Allah melapangkan bagimu supaya engkau tidak selalu dalam kesempitan dan Allah menyempitkan bagi mu supaya engkau tidak hanyut dalam kelapangan, dan Allah melepaskan engkau dari keduanya, supaya engkau tidak bergantung kepada sesuatu selain Allah.”
Apabila keempat-empat perkara ini dapat kita laksanakan maka hati kita akan sentiasa riang, gembira dan tenang. Sentiasa mengerjakan amal sholeh, tolong menolong, bergotong royong, selalu benar, sopan dan hidup dengan rasa kasih sayang antara satu dengan lain.
Marilah kita bersihkan hati kita dari segala kotorannya dengan memperbanyak zikrullah. Itulah satu-satunya jalan untuk mencari kebahagiaan di dunia dan di akhirat nanti. Manusia perlukan dzikir umpama ikan perlu air. Tanpa zikir, hati akan mati. Tidak mengapa kita memburu kekayaan, ilmu, nama yang baik, pangkat yang tinggi tetapi zikrullah tetap menjadi konsumsi kita sehari hari.
Insya-Allah, dengan zikrullah hati kita akan lapang sekalipun duduk di dalam pondok yang sempit apalagi kalau tinggal di istana yang luas. Inilah bukti keadilan Allah kerana meletakkan kebahagiaan pada zikrullah. Sesuatu yang dapat dicapai oleh semua manusia tidak peduli ia miskin atau kaya, penjabat atau rakyat, jelek atau rupawan.
Dengan itu semua orang layak untuk bahagia asalkan tahu erti dan melalui jalan yang sebenar dalam mencarinya. Rupa-rupanya yang di cari terlalu dekat… hanya berada di dalam hati sendiri!
COMMENTS